Sejarah Lubang Buaya dan Pengangkatan Jenazah 7 Pahlawan Revolusi

SEJARAH LUBANG BUAYA – Bicara soal Peristiwa G30S PKI, tentu saja tidak bisa lepas dari beragam saksi bisu yang turut menyertai.

Salah satunya yang paling sering disebut yakni Lubang Buaya. Lantas, mengapa tempat tersebut diberi nama demikian? Berikut liputannya.


SEJARAH SINGKAT LUBANG BUAYA


√ Sejarah Lubang Buaya dan Pengangkatan Jenazah 7 Pahlawan Revolusi
makassar.tribunnews.com

Sumur lubang buaya, dulunya merupakan sebuah pusat pelatihan Partai Komunis Indonesia yang berlokasi di Kel. Lubang Buaya Kec. Cipayung, Jakarta Timur.

Kini kondisinya telah berubah. Ia menjadi sebuah museum diorama, mengulas kembali sejarah kekejaman anggota PKI membuang para 6 jenderal TNI AD dan 1 perwira.

Atas penghormatan kepada mereka, negara telah memberi gelar pada ketujuh korban tersebut yakni sebagai Pahlawan Revolusi.

Di dalamnya terdapat pula sebuah ruangan berisi relik. Tak lupa sebuah monumen Pancasila berdiri tegak di antero Lapangan Peringatan Lubang Buaya.

Konon, kata lubang buaya sendiri mulanya berasal dari sebuah legenda. Di mana ada beberapa buaya putih di sekitar sungai kawasan tersebut.

Kembali ke pembahasan Peristiwa G30S PKI, tanggal 1 Oktober 1965 merupakan sebuah titik awal sejarah lubang buaya.

Dimana ketujuh jenazah pahlawan revolusioner tersebut dikuburkan di dalam dalam kedalaman lubang buaya hingga 12 meter, berdiameter 75 cm.

Peristiwa tersebut tak lain diprakarsai oleh sebuah kelompok Komunis berjuluk Gerakan 30 September atau biasa disingkat G30S/PKI.

Dalam pelaksanannya, gerakan tersebut dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung. Tujuan dari dikuburkannya ketujuh jenazah tersebut ialah untuk menghilangkan jejak.

Akan tetapi, dalam dua hari kemudian, tanggal 3 Oktober 1965 jenazah para pahlawan berhasil ditemukan oleh TNI AD berkat adanya laporan dari Agen Polisi Dua, yaitu Sukitman.

Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya

Hari mulai gelap, tampak pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Letnan Sintong Panjaitan kewalahan menghadapi proses evakuasi.

Disisi lain, perlengkapan mereka pun juga masih terbatas. Melihat situasi tersebut Pangkostrad Mayjen Soeharto tak tinggal diam.

Dalam buku “Perjalanan Seorang Prajurit Komando”, Letnan Sintong menuturkan bahwa beliau meminta bantuan Panglima KKO (sekarang Marinir) yang dipimpin oleh Mayjen Hartono.

Kala itu Lettu Mispan adalah prajurit marinir yang sedang diminta bantuan tersebut. Dia biasanya bertugas di Surabaya, namun saat itu sedang ada urusan di Jakarta.

Mispan tak sendirian. Dia membawa dua anggota lain, yakni Peltu Kandouw dan Peltu Sugimin.

Peltu Kandouw tergabung dalam anggota Sipam (Sekolah Intai para Amfibi). Sementara Sugimin masuk anggota pasukan Kipam (Kompi Intai Para Amfibi).

Kemudian Letnan Niswan Sutarto, atasan Lettu Mispan, meminta Kandouw untuk membawa lagi anggota-anggota yang lain untuk menuju Lubang Buaya.

Tepat pada tanggal 4 Oktober, Kapten Winanto selaku Komandan KIPAM KKO-AL memimpin Tim KKO untuk melakukan proses pencarian sekaligus pengangkatan jenazah di dalam lubang buaya. Mereka, yakni pasukan KKO turun secara satu persatu.

Jam 12.05 WIB – Kopral Anang, merupakan anggota RKPAD yang turun pertama kali dalam proses evakuasi tersebut. Berbekal tabung oksigen dan masker, beliau mengaitkan tali pada salah satu jenazah, yakni Pierre Tendean.

Jam 12.15 WIB – Suparimin, selaku Serma KKO yang selanjutnya turun ke lubang buaya. Beliau mengaitkan tali pada satu jenazah. Sayangnya, jenazah tersebut sulit ditarik karena telah tertindih oleh jenazah yang lain.

Jam 12.30 WIB – Subekti, selaku Prako KKO mengambil jatah giliran untuk turun ke lubang buaya. Beliau berhasil mengangkat dua jenazah, yakni Mayjen Suprapto dan Mayjen S Parman.

(bersambung)

Keyword: Sejarah Lubang Buaya

Originally posted 2021-01-13 14:36:07.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.